Rabu, 26 Juli 2017


Catat : Sampai 6 Bulan Setelah Di PHK, Buruh Tetap Memperoleh Pelayanan BPJS Kesehatan

Jakarta,KPonline – Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 Pasal 7, peserta yang mengalami PHK, maka akan tetap memperoleh jaminan pelayanan kesehatan sampai dengan 6 bulan tanpa harus membayar iuran. Jika sebelum 6 bulan peserta tersebut lantas mendapat pekerjaan baru, maka kepesertaannya berlanjut dengan premi dibayarkan oleh pemberi kerjanya yang baru.
Bila lebih dari 6 bulan peserta tersebut tidak mampu bekerja lagi dan tidak mampu secara ekonomi, maka ia dapat melapor ke Dinas Sosial daerah setempat untuk diusulkan menjadi peserta PBI yang iuran bulanannya dibayarkan oleh pemerintah.
Itu Artinya, jika karyawan keluar dari perusahaan karena di PHK maka perusahaan masih memiliki kewajiban untuk membayarkan iuran bpjs kesehatan untuk karyawan tersebut selama 6 bulan ke depan. dan kartu BPJS yang dimiliki oleh si karyawan masih bisa digunakan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari BPJS.
Dalam waktu 6 bulan karyawan harus secepatnya melakukan perubahan data kepesertaan, jika setelah 6 bulan masih belum bekerja maka bisa lapor ke dinas sosial setempat untuk menjadi peserta BPJS PBI jika peserta merasa tidak mampu untuk membayar iuran bulanan bpjs, atau bisa juga menjadi peserta BPJS mandiri atau pindah menjadi peserta bpjs PPU di perusahaan lainnya, dengan terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan perusahaan sebelumnya untuk menonaktifkan kepesertaan di perusahaan lama tersebut.
Jika setelah 6 bulan kepesertaan BPJS karyawan masih belum melakukan perubahan data kepesertaan, baik sebagai peserta BPJS mandiri maupun perusahaan lainnya, maka seharusnya tidak ada utang-piutang antara bpjs dan peserta yang bersangkutan.
Tapi memang pada kenyataanya tidaklah seperti itu, BPJS bisa menjamin karyawan atau pekerja yang di PHK jika ada ketetapan PHK dari pengadilan hubungan industrial, sehingga tidak jarang peraturan tersebut tidak diterapkan, pada akhirnya peserta memiliki tunggakan yang harus dibayar dan harus dilunasi sendiri.
Dalam konferensi pers yang diadakan di LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin (24/7/2017), KSPI berencana untuk mempidanakan Direksi BPJS Kesehatan yang melanggar penerapan Undang-Undang BPJS bagi buruh yang kena PHK.
Presiden KSPI, Said Iqbal, menyampaikan sikap KSPI ini adalah sesuatu yang wajar, lantaran kesejahteraan dari para buruh yang terancam PHK.
“Kami banyak menerima laporan dan sudah kami konfirmasi langsung bahwa ternyata 6 bulan setelah ter-PHK, buruh tidak dilayani BPJS-nya,” ujar Iqbal.
Hak buruh untuk mendapatkan pelayanan setelah 6 bulan ter-PHK itu bahkan tercantum dalam UU BPJS.
“Dalam UU BPJS, 6 bulan ke depan setelah di PHK, seharusnya masih ditanggung oleh pihak BPJS. Mau itu statusnya pegawai kontrak atau tetap, ditanggung. Tapi kenyataannya tidak,” kata Iqbal dengan geram.
Pihak BPJS berkilah bahwa alasan mereka tak menanggung buruh ter PHK karena tidak adanya uang.
Iqbal menyatakan jika sudah mengetahui masalahnya uang, terlihat aneh mengapa mereka tak berusaha mencari solusi.
Dan karena itu tercantum di UU, pihak BPJS harus memberikan hak para pengguna BPJS, dalam hal ini buruh ter PHK.
“Kami siap pidanakan direksi dari pihak BPJS. Tuntutan penjara 8 tahun. Kesejahteraan buruh harus terjamin,” pungkas Iqbal.

Rabu, 08 Maret 2017

Pendidikan Advokasi dan Hubungan Industrial PUK SPAMK FSPMI PT. YIMM - West Java Factory


Demi menciptakan Kaderisasi yang handal dan sumber daya manusia yang berkualitas PUK SPAMK FSPMI PT. YIMM West Java Factory mengadakan Pendidikan bagi para





Jangan Sia-siakan, Gunakan Cuti Haid Kamu

Disebutkan dalam Pasal 81 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, pekerja perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Adapun pelaksanaan dari ketentuan ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Ketentuan tentang cuti bagi perempuan yang haid dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 memang tidak setegas sebagaimana yang pernah diatur dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 yang menyebutkan, pekerja perempuan berhak mendapat cuti haid pada hari pertama dan kedua haid, dengan tetap memberikan upah.
Pernah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951, pelanggaran terhadap ketentuan normatif–seperti hak cuti, termasuk cuti haid– dapat diberi sanksi pidana. Artinya, jika ada pekerja yang meminta cuti haid, namun perusahaan tidak memberikan, perusahaan itu dapat dikenakan sanksi pidana.
Sebaiknya kita memberikan perhatian yang serius mengenai cuti haid. Dari segi jenis pekerjaan, cuti haid sangat dibutuhkan oleh pekerja perempuan di pabrik. Aktifitas fisik yang intens, jam kerja yang panjang, dan suasana kerja yang tidak kondusif membuat cuti haid menjadi sangat penting bagi mereka. Apalagi mereka harus berdiri terus menerus minimal selama empat jam sampai waktu istirahat.
“Karena kondisi negara dunia ketiga yang relatif patriarkhi dan miskin, tidak ada yang bisa dilakukan untuk menolong pekerja perempuan, kecuali memberikan sedikit waktu untuk memikirkan tubuhnya,” demikian pernah dikatakan oleh Wiyanti, dari LBH APIK.
Cuti haid menjadi sangat penting. Apalagi, dengan kondisi konstruksi gender yang menepatkan perempuan–meskipun bekerja, tetap pekerja domestik–sehingga jam kerjanya lebih panjang dari pria. Dengan upah yang rendah, pekerja perempuan tidak dapat menggaji pembantu, sehingga lebih mengalami kelelahan karena harus melakukan semua pekerjaan sendirian.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak mewajibkan adanya surat dokter bagi cuti haid, meskipun seringkali hal ini diberlakukan dengan alasan profesionalisme. Hak cuti haid sebagai hak normatif mestinya tetap diberikan oleh perusahaan, terlepas dari apakah hak itu akan digunakan atau tidak. Jangan sampai atas nama profesionalisme dan produktifitas, hak manusiawi karyawan terabaikan.

Senin, 16 Januari 2017

KSPI Desak Pemerintah Hentikan Kebijakan Bebas Visa Untuk China

PULUHAN RIBU WARGA BEKASI HADIRI KAMPANYE OBON – BAMBANG

KPonline - Kampanye akbar pasangan calon Bupati Bekasi dari jalur independen Obon Tabroni - Bambang Sumaryono (Obama) yang dilaksanakan hari ini, Minggu (15/1) berlangsung meriah. Ribuan massa yang hadir dari 23 Kecamatan memenuhi Lapangan Iregas, Serang Baru.
Massa yang sejak pagi bergerak dari tiap kecamatan datang dengan berbagai kreasi. Dari mulai sepeda yang dimodifikasi, motor, odong-odong, mobil tua, sampai mobil mewah serempak berwarna oranye, sesuai brand pasangan ini.
Bang Obon mengungkapkan, bahwa massa yang terlibat hampir melebihi target 20.000 orang.


"Awalnya kita kan targetin 6.000 orang. Tapi kemarin kemudian naik jadi 20.000 orang. Menurut konfirmasi pihak kepolisian tadi pas ngobrol katanya mencapai lebih dari jumlah itu. Tapi tidak semua bisa mencapai lokasi karena macet total," kata pria kelahiran Pebayuran, Kabupaten Bekasi itu.
Ia juga mengucapkan terima kasih kepada pihak kepolisiam yang telah mengatur lalu lintas dan mengamankam acara dengan sangat baik.
"Kami apresiasi dengan apa yang sudah dilakukan pihak kepolisian. Mereka sudah bekerja dengan sangat baik," tegasnya.
Dalam pidatonya, Bang Obon kembali menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan penegasan komitmen bersama untuk mewujudkam cita-cita membangun Bekasi menjadi baik dan benar.
Selain itu, ia juga menyoroti pemiihan tanggal pelaksanaan kampanye sebagai bagian dari peringatan hari bersejarah Kabupaten Bekasi. Dimana, pada 17 Januari 1950 silam, telah dilaksanakam rapat akbar masyarakat Bekasi yang diinisiasi oleh Panitia Amanat Rakyat Bekasi, di antaranya pahlawan nasional K.H Noer Ali. Momentum itu menjadi cikal bakal terbentuknya pemerintahan Kabupaten Bekasi, yang sebelumnya bagian dari Jatinegara.
"Hari itu adalah sejarah penting bagi Bekasi. Semoga hari ini juga menjadi catatan penting, di mana masyarakat Bekasi berkomitmen berjuang bersama untuk perubahan dan perbaikan Kabupaten Bekasi ke depan," tegasnya.
Sumber: obonbambang.com

Rabu, 04 Januari 2017

Beda Bupati Beda Pula Kadisnaker

Ini nyaris berulang setiap tahun. Upah naik, kemudian disusul dengan isu PHK besar-besaran. Lalu buruh dijadikan kambing hitam. Mereka beralasan, tuntutan kenaikan upah lah menyebabnya.

Mari kita lihat Karawang. Kabupaten, yang saat ini memegang rekor sebagai upah minimum tertinggi di Indonesia.

Mengapa Karawang? Diberitakan media online Pikiran Rakyat pada 4 Januari 2017, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Ahmad Suroto menyebutkan, pada 2017 sebanyak 18 ribu buruh di Kabupaten Karawang diprediksi bakal kehilangan pekerjaan akibat terkena PHK dan habis masa kontrak kerjanya. Angka tersebut lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 13 ribu orang.

“Perusahaan yang melapor untuk mem-PHK karyawannya sudah tercatat ada 3 perusahaan. Jumlah karyawan yang akan di PHK sekira 5000 orang. Baru awal tahun sudah sebesar ini. Biasanya puncak pemutusan hubungan kerja ada di pertengahan tahun,” katanya.

Menurut Suroto tiga perusahaan yang lapor akan melakukan PHK adalah PT Bina Karya Manunggal sebanyak 1200 karyawan, PT Besco Indonesia sebanyak 500 karyawan. Bahkan PT Hansai sudah menyatakan akan segera tutup dan tidak akan beroperasi lagi di Karawang. PT Hansai memilik 1000 karyawan dan akan di-PHK semuanya.

“Jumlah sebanyak itu belum termasuk yang aka dirumahkan. Totalo karyawan yang akan kehilangan pekerjaan bisa mencapai 5000 orang.”

Apa menyebab buruh di PHK? Suroto mengaku, tingginya UMK di Karawang yang mencapai Rp 3,6 juta memiliki dampak cukup besar terhadap operasional perusahaan, terutama perusahaan yang bergerak di TSK. Saya menangkap kesan, dari kalimat itu, Suroto menyalahkan UMK di Karawang yang memiliki dampak cukup besar terhadap operasional perusahaan.

Ini tentu tidak fair. Harusnya Suroto menyebutkan, berapa persen sesungguhnya upah buruh dari total operasional perusahaan? Jangan-jangan, itu hanyalah dalih yang dibuat-buat. Sejumlah perusahaan, misalnya, mengaku jika order sedang turun sehingga perusahaan mengurangi produksi. Imbasnya, ada pengurangan karyawan. Hal seperti ini terjadi sejak dulu, bahkan ketika upah buruh masih di kisaran ratusan ribu. Jadi tidak perlu lebay mengatakan perusahaan tutup karena upah tinggi, karena toh upah bukan satu-satunya operasional yang harus ditanggung perusahaan.

Alih-alih berada di posisi buruh, Suroto justru seperti menjadi juru bicara bagi kalangan pengusaha.

Saya mencatat, pernyataan Suroto berbeda dengan apa yang disampaikan Bupati Karawang, Cellica Nurrachadiana, yang juga dikutip pikiran-rakyat.compada tanggal yang sama. Cellica sempat menyebutkan, nilai UMK yang tinggi di Karawang tidak membuat sejumlah perusahaan kapok berada di Karawang.

“Saya sudah berkomunikasi dengan pihak pengusaha seperti Apindo dan Kadin. Sejauh ini, tidak ada masalah dengan pengusaha. Kalau pun ada yang hengkang dan bangkrut, itu masalah pribadi perusahaan,” katanya.

Cellica menjanjikan, Karawang akan tetap menjadi wilayah incaran para investor untuk menanamkan modalnya, meski harus membayar gaji karyawan tinggi. Pola pembangunan infrastruktur yang baik dan perizinan yang mudah akan diberikan kepada para pengusaha.

“Itu akan menjadi tawaran pemerintah daerah kepada para pengusaha. Bantuan program pemerintah pusat untuk mempercepat infrastruktur yang baik membuat Karawang tetap menjadi magnet para investor,” kata Cellica beberapa waktu lalu.

Sebagai anak buah, mestinya Suroto bisa mencontoh Bupati Cellica. Tidak ikut memanas-manasi, bahwa upah lah penyebab perusahaan melakukan PHK terhadap buruh-buruhnya. (*)

-- 
http://fspmi.or.id
---